Politik dan Monopoli Media Sosial

sumber foto: pixabay.com

Saat ini, kita hidup di era cyberspace (dunia maya). Era yang pertama kali diperkenalkan oleh William Gibson dalam buku Neuromancer itu, dimaknai sebagai suatu bentuk kesadaran tanpa tubuh. Pada era ini, terdapat perbedaan ruang, waktu, gerakan, benda, yang terasa lebih cepat, instan, dan tak terbatas dibanding kehidupan realitas manusia.

Cyberspace menjadi ruang utama bagi kelangsungan generasi bangsa Indonesia, khususnya pemuda. Setiap hari, mereka mengakses ribuan hingga jutaan informasi, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa akses yang dinikmati bisa berdampak negatif, lantaran kaburnya antara kebenaran dan kebohongan.

Kehadiran cyberspace ini berpengaruh pada bidang politik. Misalnya di Ghana, pada mula berkembangnya media sosial (medsos), dua kandidat presiden kala itu menggunakan SMS dan Twitter untuk mendulang suara. Kemudian di Zimbabwe, partai oposisi menggunakan website untuk menyebarkan pesan yang mengecam pemerintah yang berkuasa.

Era cyberspace memiliki medium yang luas, dan medsos menjadi medium yang paling sering digunakan banyak orang. Karena sifatnya yang cepat, instan, dan interaktif, medsos menjadikan komunikasi aktor politik dengan masyarakat lebih mudah diterima.

Medsos menjadi dunia kata tanpa rupa, yang kerap memengaruhi siapa saja yang membukanya. Maka benar apa yang diungkapkan Antonio Gramci bahwa kita harus waspada dengan dunia kata, karena dia bisa menjadi aparat hegemoni yang amat ampuh dalam menanamkan kesadaran palsu di tengah-tengah masyarakat.

Sebagai warga negara Indonesia, tentu kita sudah tak asing lagi dengan penggunaan medsos sebagai alat politik. Kehadirannya membuat informasi politik tidak hanya semakin masif, tetapi terstruktur dan sistematis. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa apapun yang berbau politik, selalu kental dengan kepentingan pribadi atau golongan.

Karena berangkat dari kepentingan pribadi, para aktor politik terkadang tidak memedulikan unsur kemashlahatan, baik atau buruk. Mereka akan menggunakan semua cara asal tujuannya bisa tercapai dengan mulus, tanpa peduli siapa yang dirugikan, dan dihancurkan. Cara-cara tersebut mereka gencarkan dengan memproduksi dan menyebar informasi hoaks sehingga menimbulkan gejolak di masyarakat.

Hoaks kian merusak sendi-sendi harmoni sosial masyarakat Indonesia. Sepanjang 2019, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mencatat hampir lebih dari 100 hoaks tercipta setiap bulannya. Jumlah itu meningkat di tahun 2020, dari data yang diperoleh tim AIS Kementerian Kominfo dan Mafindo, setiap bulan isu hoaks tidak kurang dari 200 bahkan tembus sampai 400 kasus.

Ironisnya, beberapa ibu rumah tangga ditangkap polisi karena menyebarkan hoaks di medsos. Sementara itu, anak muda cenderung diam saat hoaks mendera, malah terkadang mereka yang memproduksi hoaks tersebut.

Maraknya kasus hoaks memang berbanding lurus dengan penggunaan internet di Indonesia. Menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), jumlah pengguna internet di Indonesia per April 2019 mencapai lebih dari 171,17 juta jiwa (64,8 persen dari total penduduk Indonesia sebanyak 264 juta jiwa). Berdasarkan hasil riset Wearesosial Hootsuite yang dirilis Januari 2019, pengguna media sosial di Indonesia mencapai 150 juta atau sebesar 56 persen dari total populasi.

Jumlah pengguna internet di Indonesia pada tahun 2020 mengalami peningkatan. Riset yang dilakukan platform manajemen media sosial HootSuite dan agensi marketing sosial We Are Social bertajuk “Global Digital Reports 2020” menyebutkan, per akhir Januari 2020 jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 175,4 juta orang.

Media Ibarat Jarum Suntik

Dengan banyaknya pengguna medsos di Indonesia, aktor politik bisa berinteraksi dengan publik secara langsung sekaligus membentuk perbincangan yang akrab. Tidak butuh waktu dan tenaga ekstra, aktor politik bisa langsung mengetahui kritik dan solusi seperti apa yang diinginkan masyarakat melalui medsos.

Komunikasi politik di ruang tanpa tubuh ini, memang menawarkan peluang untuk mencari simpati dan membranding politisi untuk mendulang suara dalam pemilu, maupun sekadar untuk mendapat pujian atas pencapaian kerja mereka. Namun di sisi lain, medsos juga dapat membuat aktor politik menjadi bahan tertawaan atau caci maki publik.

Medsos ibarat jarum suntik. Siapa saja yang terkena jarum suntik akan merasakan efek pada tubuhnya, baik negatif atau positif. Demikianlah, medsos memiliki kemampuan untuk memengaruhi khalayak, bukan hanya pemikirannya, namun juga sikap dan perilaku.

Seperti kasus yang dulu pernah dialami Anggota DPR dari Fraksi Gerindra Mulan Jameela dalam medsosnya. Mulan Jameela mengunggah foto tiga kacamata dengan kartu merek Gucci yang diunggah di akun instagramnya. Sontak hal itu mendapat teguran dari KPK, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan bahwa seorang penyelenggara negara harus jauh dari konflik kepentingan.

Menurut Saut, sulit memahami apakah suatu pemberian apapun ke pejabat publik itu berkaitan atau tidak dengan posisinya sebagai penyelenggara negara. Maka, anggota DPR harus mengerti norma dan etika sebagai pejabat publik. Dari kasus ini, kita bisa memahami bahwa melalui medsos, pesan sekecil apapun dari seorang aktor politik akan berdampak besar bagi kredibilitas dirinya. Itu hanya satu kasus, sebenarnya masih banyak kasus besar lainnya.

Medsos tak ada bedanya dengan hutan rimba, hukum yang berlaku di sana adalah yang kuat akan bertahan. Medsos juga tidak memiliki peraturan di dalamnya, sehingga seolah siapapun boleh memakan apapun, dan membunuh apapun. Ini menjadi tantangan, agar pengguna bisa menempatkan posisi secara bijak di medsos.

Belum lagi, persoalan politik menjadi hal yang sangat sensitif di masyarakat. Masyarakat kadung memaknai politik sebagai suatu siasat, strategi, yang digunakan untuk menipu agar keuntungan pribadi bisa diraih oleh aktor politik. Maka, jangan sampai gegara tidak bijak dalam mengunakan medsos bisa menyebabkan perang saudara.

Hal itu tentu akan merusak keharmonisan sosial masyarakat. Jika masyarakat tidak lagi merasa aman ketika harus duduk berdampingan dengan seseorang saat menunggu bus di halte, atau merasa tidak aman ketika berdesak-desakan dalam kereta, maka ada yang perlu dibenahi dari kultur komunikasi politik kita.

Di ruang politik tanpa tubuh, para aktor politik juga pemuda harus menghadirkan solusi yang tepat dan cerdas untuk kemashlahatan politik di Indonesia. Sebaiknya komunikasi yang dibangun di medsos memiliki nilai untuk tumbuh dan berkembang, agar pemuda menjadi produktif, kreatif serta tangguh dalam menghadapi segala bentuk tantangan terutama dalam dunia politik.

Sebagai renungan bagi seluruh masyarakat Indonesia, di akhir tulisan ini saya mengutip pernyataan dari seorang Sastrawan Inggris yang bernama George Orwell. Ia meramalkan bahwa dalam jangka panjang, penguasaan terhadap alat komunikasi akan menggantikan kekuatan militer dalam melakukan penindasan. Dalam hal ini, memonopoli bahasa berarti memonopoli alat komunikasi terpenting.

Tulisan ini pernah ditayangkan di website geotimes.id https://geotimes.id/opini/politik-dan-monopoli-media-sosial/

Posting Komentar

0 Komentar