Masygul

Sumber gambar: pixabay

Orang-orang mengatainya gila, stres, bodoh, goblok, tidak punya masa depan. Kerjaannya hanya berdiri di pinggir jalan saat pagi dan sore, serta mulutnya sibuk melontarkan perkataan tak jelas sembari menunjuk ke arah pengendara yang melintas.

"Bedaknya nempel tuh...Keringatnya tuh...Helm nyolong ahaha..." Begitulah rapalan kata yang kerap ia lontarkan kepada setiap pengendara yang lewat.

Ia tak mempedulikan cemoohan yang datang bertubi-tubi kepadanya. Dengan perawakan sehat, tubuh tidak kurus juga tak gemuk, kulit sawo matang, dan baju partai yang selalu dikenakannya, ia merasa baik-baik saja dan tentunya tidak merasa gila.

Tak ada yang tahu tentang hidupnya. Keluarga, rumah, istri, pekerjaan, masalah, karir. Yang orang tahu hanya dirinya dengan penampilan kusut, kumuh, sering berdiri di pinggir jalan sembari melontarkan ucapan-ucapan tak jelas.

Sore itu hujan. Ia yang menganggap setiap tempat adalah rumah, berteduh di sebuah gubuk bata yang cukup besar. Di sana sepi, pemiliknya sudah pulang seperempat jam yang lalu. Langit mendung dan hujan lebat menemani kesepiannya. Ia mulai kedinginan, dan mencari apapun yang bisa digunakan untuk membuat kehangatan.

Ia memeluk lutut dan menyelimuti dirinya dengan sarung yang ditemukan terselip di antara bambu-bambu atap gubuk itu. Pikirannya mengudara, memorinya mengajak kembali pada ingatan yang kelam. Ia tak suka dengan keadaan saat dirinya harus mengingat peristiwa kelam. Ia selalu ingin ceria juga penuh tawa. Tapi ingatan itu semakin kuat merasuk ke pikirannya, seiring merasuknya hawa dingin yang membuatnya bergetar.

Tanpa sadar, air mata membanjiri pipinya. Ingatan tentang orang tua yang mengusirnya begitu kejam, dan menganggap ia sebagai anak tak berguna menjadi ingatan kelam pertama yang membawanya kepada memori-memori lain.

Rumah tangga yang ia bangun juga hancur lantaran sang istri pergi tanpa memberi kabar apapun. Ia tak dikaruniai seorang anak, karena umur pernikahannya pun baru seumur jagung, meski alasan utamanya adalah sang istri menggugurkannya.

Hidupnya hancur, tanpa keluarga, tanpa pendamping, tanpa kasih sayang. Ia tak memiliki siapapun lagi dalam hidupnya, selain para pengendara yang setiap pagi dan sore ia ajak berkomunikasi dengan cara yang aneh. Hidupnya memang telah hancur.

Sehari-hari ia makan dari pemberian orang. Bahkan sering pula ia meminta ke warung-warung. Hidup dari belas kasihan orang lain memang tak enak. Tapi bukan berarti ia menjadi hina. Ia berusaha bangkit dan terus melanjutkan hidup, apapun kondisi dan bagaimana pun caranya. Bagi siapapun yang berusaha bangkit untuk hidup, tentu tidak pantas dipandang hina.

Ia memang tidak gila. Ia hanya kehabisan cara untuk bisa hidup normal. Justru dengan dianggap gila itu, ia merasa senang karena tampil menjadi hiburan untuk orang lain. Mereka tertawa dengan tingkahnya, dan melupakan semua keresahan mereka, begitupun tanpa tahu dengan kisah lukanya.

Hidupnya yang nomaden, menjadikan ia dikenal banyak orang. Banyak di antara mereka yang ringan tangan dan membantunya untuk menyambung hidup dengan makan. Hidupnya memang tak punya cita-cita, tujuan, ataupun keinginan. Baginya yang terpenting dalam hidup saat ini adalah bisa makan, bagaimanapun caranya.

Posting Komentar

0 Komentar