
Pada bagian 1 dan 2 dalam project awal mula series ini, saya sudah bercerita tentang bagaimana perkenalan dengan dunia menulis dan jurnalis. Pada bagian 3, sebagai akhir dari project ini, saya ingin bercerita tentang bagaimana kedua dunia sebelumnya membawa saya berkenalan dengan dunia baru. Dunia politik.
Dunia yang tidak pernah terpikirkan sama sekali. Dunia yang menurut saya sangat jauh dari segala pemahaman yang saya punya. Dunia yang selama ini saya abaikan dari kamus kehidupan. Karena, daripada membaca soal politik yang bikin ruwet, saya lebih tertarik membaca mengenai lifestyle dan tulisan-tulisan motivasi.
Namun saya seperti dituntun. Sebuah iklan lowongan kerja bertulis “dibutuhkan reporter” lewat di beranda sosmed. Tanpa pikir panjang, saya menunjuk kepada diri sendiri. Itulah saya. Dengan kepercayaan diri yang besar, saya langsung mendaftar. Pada saat itu, saya baru saja lulus dan sebagaimana umumnya terjadi di Indonesia, mahasiswa yang baru lulus bukan hanya menyandang gelar akademik, namun juga menyandang gelar baru, jobseeker.
Dua minggu setelah submit, saya dihubungi. Bahwa saya diterima dan bisa langsung segera melakukan persiapan interview. Namun bukannya senang, saya malah ragu. Ragu karena setelah saya baca ulang selebaran informasi tersebut, tertulis “magang”. Saat melamar, saya tidak mempermasalahkan hal ini. Tapi saat diterima saya langsung pikir ulang. Manusia aneh wkwk.
Akhirnya dengan berat hati saya menolak. “Maaf sebelumnya mas, saya belum bisa menerima karena faktor jarak,” balas saya. Pekerjaan ini memang jauh yakni di Semarang. Sebenarnya saya bukan tidak familiar dengan Semarang, karena saya berkuliah di kota ini. Hanya saja, usai lulus saya memutuskan untuk pulang kampung dan berencana bekerja di dekat rumah.
Namun lagi-lagi saya seperti dituntun. Semua upaya saya untuk mendapat pekerjaan di dekat rumah, nihil. “Sulit sekali mencari pekerjaan di sini. Sial.” Batin saya kala itu. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Saya kembali mendapat pesan dari seseorang yang kemarin saya tolak.
“Masih tertarik untuk bergabung nggak?” Begitu bunyi pesannya. Tampak sederhana, tapi pesan ini lebih indah dari puisi Kahlil Gibran sekalipun. Pesan ini bukan hanya memberi sentuhan rasa sebagaimana puisi Pandangan Pertama Kahlil Gibran. Namun juga memberi harapan, memberi sentuhan kehidupan untuk nasib seorang manusia.
Disinilah semua bermula. Saya menerima puisi cinta dari penyedia lowongan kerja itu. Sampai akhirnya tibalah momen interview. Momen yang dalam bayangan saya akan berlangsung formal, kaku, dan bergaya korporat. Tapi dugaan itu salah. Interview ini cukup santai. Bahkan rasanya seperti sedang mengobrol bersama teman tongkrongan.
Usai interview dan dijelaskan panjang kali lebar. Saya akhirnya memahami jika job desk yang awalnya untuk posisi reporter, berganti menjadi content writer. Dan betapa terkejutnya saya, ternyata menjadi content writer untuk sosok politisi nasional yakni Ganjar Pranowo. Saya sempat bingung dan takut, bagaimana seorang yang bahkan sebelumnya menjauhi politik, kini harus masuk ke dalamnya.
Saya sempat mengalami new job anxiety. Karena bagi saya, politik adalah dunia baru. Apa yang harus saya tulis? Apa yang harus saya lakukan? Bagaimana jika nanti saya salah? Pertanyaan itu berputar-putar di kepala. Namun salah satu senior dalam divisi yang sama menyemangati saya. “Enjoy aja, tulis apapun yang kamu ingin tulis. Jangan terpaku dengan acuan apapun. Buat saja acuanmu sendiri.” Ucapnya.
Ada betulnya kata senior ini. Saya tidak boleh mengabaikan pengalaman yang sudah membentuk saya selama ini. Dari perkenalan dengan dunia menulis, saya sudah mendapat pembelajaran bagaimana menyusun serta mengambil makna dari setiap peristiwa. Dari dunia jurnalis, saya sudah mendapat pembelajaran bagaimana cara berpihak yang bijak dan bagaimana menjadi jujur namun kritis. “Itu adalah pondasi,” batin saya kala itu.
Betul saja, bekerja dengan tenang dan terukur membuat hasil lebih baik. Tulisan pertama menjadi content writer Ganjar Pranowo cukup membanggakan buat saya. Saya mengangkat tema mengenai kekerasan seksual pada perempuan dan anak. Jika ingin membaca tulisannya ada di link ini https://www.kompasiana.com/aditiaardian/6385a4cc6e14f11b142988f3/nayoung-ganjar-dan-kisah-anak-anak-jawa-tengah.
Bekerja sebagai content writer tokoh politik, tidak pernah ada dalam list pekerjaan yang saya impikan. Namun perlahan tapi pasti, seiring proses berjalan, ternyata cukup seru juga. Rasanya seperti diajak menyelam lalu menemukan berbagai hal baru di dalamnya. Menyebarkan informasi yang jarang orang tahu, sangat menyenangkan karena ternyata apa yang terkadang jadi trending topik di media sosial, tidak seperti kenyataannya.
Perlahan saya sadar, ternyata pekerjaan saya bukan sekadar membuat tulisan. Tapi juga perlu belajar memahami bagaimana denyut nadi publik di media sosial. Pilihan kata harus tepat, pilihan tema harus kuat. Karena satu kata bisa membentuk persepsi, dan satu kalimat bisa menciptakan harapan. Tulisan bukan lagi sekadar narasi, tapi menjadi sebuah alat perjuangan. Betapa puasnya saya ketika ratusan tulisan sudah terbit, dan jutaan mata sudah melihat dan membangun persepsi.
Perjalanan terus berlanjut. Saya kali ini dipercaya untuk menjadi staf media sosial dalam tim yang sama. Saya makin dibawa menuju dunia yang lebih kompleks. Dunia yang memperlihatkan jika politik saat ini bukan sekadar baliho dan pidato. Melainkan apa yang ditampilkan di media sosial. Baik postingan, caption, serta komentar. Media sosial bukan lagi sekadar tempat hiburan, tapi arena pertarungan ide dan gagasan.
Media sosial = alat propaganda. Bentuknya yang ringan dan akrab membuat kita terkadang tanpa sadar dipengaruhi. Namun jangan anggap sepele, karena di balik itu semua ada orang-orang yang sibuk menghitung strategi, menyematkan pesan-pesan, serta mengemasnya agar bisa dikonsumsi masyarakat luas. Dan saya, saat itu adalah salah satu orangnya.
Berawal dari ketidaksengajaan, saya malah terbilang langgeng dengan politik. Perkenalan berikutnya lebih dalam lagi. Memerlukan stamina yang prima karena kali ini, politik membawa saya ke tempat yang tidak pernah saya tahu. Saya terbang ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Bersama tim kecil, saya ditugaskan mewakili perusahaan tempat kami bekerja.
Kami mulai langkah pertama dengan membuat roadmap. Bagaimana situasi politiknya, kondisi masyarakat, media, serta adat istiadat setempat. Kami turun langsung ke lapangan, mulai merancang strategi, membuat konten, menciptakan narasi, serta beradaptasi dengan budaya masyarakat. Bagi saya, ini bukan sekadar pengalaman politik belaka. Melainkan tentang bertahan hidup dengan rencana dan eksekusi yang matang.
Tentang bagaimana sebuah tim bisa berjalan beriringan. Tentang bagaimana ide-ide diuji lalu dijalankan. Tentang bagaimana komunikasi yang bukan sekadar teori, melainkan harus sinkron dengan realitas. Tentang bagaimana sebuah keputusan sekecil apapun, memiliki dampak yang besar bagi keberhasilan tim. Tentang bagaimana sebuah ide, sebagus apapun tidak akan berarti tanpa strategi yang matang dan kerja sama semua pihak.
Pelan tapi pasti, dunia yang dulu sangat asing ini terasa mulai akrab. Politik yang dulu seperti memeluk sebuah gunung, kini seperti memegang jarum di tangan. Pandangan saya mengenai politik juga berubah. Saya pernah berpikir politik itu kotor, jahat, hitam. Tapi sekarang, saya memahami jika politik itu bagian dari kehidupan. Politik adalah tentang manusia dan segala yang menyangkut haknya.
Saya sangat menikmati belajar dan berproses dalam politik. Tapi terkadang selalu timbul pertanyaan, apakah ini benar-benar dunia saya? Saya selalu tertantang dengan dinamika dan kompleksitas yang terjadi di dalamnya. Tapi bagi saya, politik sangat luas untuk benar-benar dipahami sepenuhnya. Meski bisa dibilang sudah ditempa oleh pengalaman, entah mengapa saya merasa selalu ada ruang kosong dalam pemahaman saya.
“Politik benar-benar dunia yang kompleks,” gumam saya dalam hati.
Karena politik berbicara mengenai banyak hal. Tentang relasi kuasa, kompromi, dan terkadang banyak hal lain yang tidak bisa dijabarkan dengan logika sederhana. Namun dari politik saya memahami satu poin penting. Jika semua hal termasuk tulisan memiliki kuasa. Tulisan bisa menggerakkan, bisa mempengaruhi, serta ia mampu menjadi sesuatu yang besar dalam sendi-sendi kehidupan kita.
Leave a Reply