Aditia Ardian

hidup untuk dipahami, bukan ditakuti

Suara

Pagi itu angin berhembus mesra. Menyeka setiap sudut kamar yang penuh dengan kesunyian dan keraguan. Terlihat tulisan kertas tegak berdiri di balik bibir pintu, “AKU BISA, HARUS BISA, PASTI BISA.” Saat itu, Suara masih bergelut dengan mimpinya. Tampak wajah cantiknya mengulum senyum, seolah menggambarkan keindahan mimpi yang dirasakannya.

Suara alarm berdering. Gelombangnya bagaikan bom nuklir yang menghancurkan kehidupan. Dengan bermalas-malasan, Suara menjulurkan tangan menggapai alarmnya, dengan ketus ia memukul hingga jam pun tertunduk dan terdiam. Jika bisa, jam pasti kecewa dengan Suara, kenapa dirinya selalu dipukul setiap membangunkan seseorang dari tidurnya. Apa yang salah darinya? Andai bisa berbuat, mungkin jam memilih menghentikan langkah dan tak memberikan waktu untuk manusia.

Setelah urusan Suara dengan jam selesai, ia langsung beranjak dari tempat tidurnya. Langkah demi langkah jajaki, tak lupa ia membaca tulisan di bibir pintunya itu dalam hati (AKU BISA, HARUS BISA, PASTI BISA). Memang sudah menjadi kebiasaan baginya membaca tulisan itu, entah untuk apa ia selalu melakukannya, yang pasti membacanya adalah suatu kebutuhan bagi Suara.

Terdengar suara seperti orang memasak di dapur. Itu adalah ibu Suara, memasak di waktu pagi adalah kebiasaannya, hal itu tidak lain karena ibu sangat sayang kepada Suara.

“Suara, apa itu kamu nak?” Tanya ibu.

“Iya bu ini aku,” jawab Suara sambil berjalan dan tangan lembutnya tak henti-henti mengusap kedua matanya yang biru.

“Yasudah sana mandi, nanti kalau sudah selesai ibu tunggu di meja makan ya,” lanjut ibu.

Suara hanya berlalu dan mulutnya hanya komat kamit “hhhhhhhhhhhh.” Setelah itu, ia dan ibu sarapan bersama, dan tak lama kemudian Suara izin pamit pergi ke sekolah.

Suara adalah siswi kelas 3 SMA favorit di tempatnya. Semenjak sekolah ia selalu mendapat predikat siswi terbaik, hanya saja Suara mengalami perubahan pada semester lalu, semangat belajarnya mulai turun, nilai tugas hariannya pun ikut turun. Bukan hanya itu, sekarang ia juga suka menyendiri di bukit belakang sekolah.

“Ra, kamu kenapa sih, kok sekarang berubah?” Tanya seorang temannya ketika jam pelajaran pertama usai.

“Berubah gimana maksud kamu?” Jawabnya dengan nada datar.

“Sekarang kamu sering ngelamun, terus nilai kamu juga turun Ra?” Terang Sisi dengan jujur.

“Mmm, udah ya Si aku mau ke belakang dulu, bye.” Suara langsung meninggalkan Sisi sendiri di dalam kelas.

“Eh Ra tunggu, tunggu,” teriak Sisi.

Tanpa menghiraukan apa yang Sisi ucapkan, Suara berlalu begitu saja. Suasana terasa begitu tenang. Semilir angin menghempas tubuh Suara yang bersandar di bawah pohon rindang itu. Terlihat matanya yang biru kini berubah menjadi merah, sepertinya mata itu rindu akan sesuatu. Tangannya memeluk kedua kaki yang dihinggapi dagu manisnya, tampaknya Suara tidak dalam kondisi baik, pikirannya melayang mengudara. Tak seorang pun mampu melihat udara itu. Namun di antara mereka ada yang mampu merasakan, begitupun Suara, ia bahkan tenggelam dalam udaranya sendiri.

Dalam benak Suara tak lain adalah ayahnya, dahulu ia sangat dekat dengan ayahnya. Pikirannya membayangkan kejadian dahulu ketika bermain di danau bersama ayah, bermain air, saling lempar satu dengan yang lain, dan naik perahu kayu. Suara yang waktu itu berumur 14 tahun terus memeluk ayahnya, sementara ayahnya mendayung perahu. Satu kejadian yang membuat Suara tak lupa adalah ketika hari ulang tahunnya. Ayah memberikan sepeda keinginannya dan mengajari Suara hingga bisa mengemudi dengan lihai. Lagi-lagi hujan di matanya tak mampu terbendung, bahkan lebih dingin dibanding hujan di malam hari.

Bel sekolah berbunyi, tanda bahwa kegiatan pembelajaran telah usai. Dari balik bukit belakang sekolah Suara bergegas menuju kelas untuk mengambil tas miliknya dan langsung beranjak pulang.

“Assalamualaikum bu, aku pulang,” ucap Suara sembari mengetuk pintu.

Ibu yang sedari tadi di kamar sedang berkutat dengan mesin jahitnya, langsung beranjak menemui Suara sambil meluruskan tudung di kepalanya yang miring.

“Waalaikum salam nak, kamu sudah pulang,” sahut ibu menyambut anak kesayangannya itu.

“Sudah bu,” jawab Suara sambil mencium tangan ibunya.

“Yasudah kamu ganti baju dulu, itu ibu juga udah buat es buah kesukaanmu, ada di kulkas,” lanjut ibu dengan ciri nada lembutnya.

“yeay asik,” jawab Suara dan langsung lari mengganti pakaian kemudian menyantap es buatan ibunya.

Dari kursi mesin jahit itu, sang ibu menatap anaknya yang lahap menyantap es di meja makan. Hatinya bergumam (nak, itu salah satu cara ibu membuatmu bahagia, agar kau tak selalu memikirkan ayahmu, ibu tidak rela jika kamu terus-terusan murung akibat sepeninggalan ayah, kamu harus kuat nak, ada ibu di sini). Tak terasa hawa dingin menyelimuti pikiran ibu dan matanya dipenuhi butiran air yang turun tanpa sengaja.

Meski terlihat senang, jauh di lubuk hati Suara menyimpan banyak kepedihan tentang ayah. Semua itu ternyata berimbas besar bagi hidupnya, Suara memang benar-benar mengalami perubahan seperti kata teman sekolahnya tadi.

Ia adalah anak yang rajin belajar dan sangat senang melakukan pekerjaan rumah seperti memasak, mencuci, dan menyapu. Namun ibunya merasa heran ketika sepeninggal ayah, semangat dalam diri Suara turun ke level paling bawah. Dia menjadi malas, tidak berenergi, dan sering menyendiri di kamar. Ibu berusaha menenangkan dengan berjuta nasihat yang setiap hari diterimanya. Namun itu tampaknya belum mampu membuatnya menjadi sadar akan arti hidup meski harus kehilangan.

Malam pun tiba, suasananya begitu labil. Tampaknya cuaca di luar sedang beradu ketangkasan antara dingin dan panas, seperti hatinya Suara. Dia sedari minum es buatan ibunya hanya berbaring di tempat tidur. Ia hanya beranjak bila memasuki waktu salat, mandi dan makan. Ibunya selalu setia menemani Suara, rambut hitamnya disentuh lembut penuh kasih sayang.

“Nak, kamu harus kuat, hidup itu bukan hanya soal memberi, tapi bagaimana cara kita bisa menerima semuanya,” ucap ibu lirih.

“Yaudah Nak, kamu istirahat ya, besok jangan lupa sekolah,” lanjut ibu menenangkan.

Keesokan harinya, Suara terbangun dari lelapnya. Seperti biasa ia tak ketinggalan membaca tulisan di balik bibir pintu kamarnya. Ia ingat betul kapan menulis kata itu, saat ayahnya meninggal satu tahun lalu, akibat penyakit jantung yang menimpanya, wajah cantiknya tampak mengerutkan dahi mengenang kepergian ayahnya, betapa ia sangat menyesali waktu itu tak dapat berbuat apa-apa.

Ia pun terdiam memandangi lamat-lamat tulisan itu dan berusaha mengembalikan waktu bersama ayahnya dulu dan bergumam (kenapa waktuku bersama ayah diambil? Ini tidak adil). Namun sekali lagi, kenangan adalah kenangan yang tak bisa dirasakan kembali kehangatannya. Saat ini yang tersisa hanya rasa dingin yang selalu berkemul dalam diri Suara.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *