1 Jam Bersama Bapak

sumber gambar: pixabay

"Pak, Dika pulang agak telat ya, soalnya mau nonton sepak bola dulu di lapangan desa," tulis Dika dalam ponselnya. Sekejap ia kirim pesan singkat itu kepada sebuah kontak yang ia beri nama 'My Hero'.

Dika menyukai sepak bola, meskipun jika disuruh turun ke lapangan, ia adalah pemain yang buruk. Tim favoritnya sampai saat ini adalah Arsenal. Ia tak pernah ketinggalan kabar apapun tentang tim favoritnya itu, bahkan kabar perceraian dari salah satu official pun tak luput darinya.

"kring..kring..kring..kring.."

Suara ponsel Dika berbunyi. Dari layar notifikasi, ia mendapati pesan masuk dari 'My  Hero'.  

"Iya Nak, gapapa. Kamu pulangnya jangan sampai kelewat magrib ya."

Setelah membaca pesan itu, dengan raut wajah senang Dika langsung membalas, "Oke pak tenang aja, aman..." Ia kembali memasukkan ponsel ke dalam saku kanan celananya. Ia kemudian meninggalkan sepeda dengan panci besar yang terikat di belakangnya di tempat parkir yang sudah dipadati kendaraan bermotor. 

Ia mulai berjalan ke kerumunan yang sedari tadi tak henti-henti mengumpati para pemain yang sedang bertanding. Dika mulai berjalan dan merangsek di antara warga, hingga ia berada di depan garis lapangan yang berjarak kurang lebih setengah meter.

Dika senang bukan kepalang, karena bisa menyaksikan pertandingan sepak bola secara langsung setelah lebih dari tiga tahun tak pernah ia lakukan. Bukan karena tak mau menonton, hanya saja selama tiga tahun itu Dika tak selalu berada di desa. Ia merantau dan pulang saat sedang libur panjang saja.

"Skornya udah berapa-berapa ya pak?" Tanya Dika kepada salah satu penonton.

"1-0 menang baju kuning," jawab bapak bertopi putih, yang kemudian  terperanjat seraya mengepalkan tangan dan memukul udara karena peluang yang diciptakan tim pilihannya berhasil dipatahkan oleh sang kiper lawan.

Pertandingan semakin sengit. Kedua belah tim saling menjual serangan, terutama tim baju merah. Mereka mengeluarkan segenap tenaga untuk mampu menyeimbangkan keadaan. Meski tidak mengetahui siapa yang bertanding, Dika tetap menikmati pertandingan itu.

Ia bisa merasakan betapa sangarnya kedua tim saat di lapangan. Mereka seolah menghalalkan segala cara untuk merebut bola dari lawan. Mentakle, mendorong, permainan udara yang berujung saling sikut, serta pemain yang dengan sengaja menembakkan bola ke badan lawan.

"Seseorang memang akan kehilangan kontrol, saat apa yang menjadi keinginannya diperebutkan banyak orang." Gumam Dika dalam hati. Sekejap pikirannya langsung  mengudara, meraih ingatan-ingatan kelam yang menimpa dirinya. Ketika hampir terhanyut dalam lamunannya, Dika dikagetkan dengan suara peluit yang terdengar nyaring dari tengah lapangan. Peluit itu pertanda pertandingan telah usai.

Orang-orang mulai meninggalkan lapangan. Beberapa yang lain sibuk mengumpat atas kekalahan tim pilihannya. Di pojok bawah pohon, beberapa orang sibuk menerima uang dari lawan taruhannya.

Dika bergegas pulang dan saat  sampai di persimpangan jalan menuju rumahnya, salah satu warga yang sedang duduk di pos ronda menyapa Dika dengan ceria.

"Hei Dik, udah pulang? Gimana tadi laku?" Ujarnya sembari melambaikan tangan. Sebatang rokok yang terjepit di jari tangan kirinya terlihat sudah memendek, abu hitam yang katanya 'tai rokok' masih menempel di rokoknya itu. 

"Ya lumayan mang." Jawab Dika singkat dari atas sepedanya.

Matahari mulai menanggalkan cahayanya. Hari semakin gelap dan saat Dika sampai di rumah, ia tak mendapati bapak ada di sana. Handuk yang melilit di lehernya ia tumpuk bersama ember yang berisi tumpukkan baju kotor. Ia juga mulai melepaskan pakaian dan meraih handuk yang tergantung di sebuah tali yang terpasang dengan paku menancap di tembok, dan segera menuju kamar mandi.

Hanya membutuhkan waktu kurang dari lima menit, Dika menyelesaikan mandinya. Waktu yang sangat singkat dalam dunia permandian umum. Tapi itulah Dika, ia tak pernah menghabiskan waktu lama untuk berada dalam ruangan sempit dan penuh dengan bau-bau sengit yang bercampur itu.

Tepat di depan kamar mandi, saat Dika sedang mengusap-usap rambutnya yang basah dengan handuk, terdengar suara televisi menyala dari ruang tengah. Ia langsung mengintip ke arah suara itu dan mendapati bapaknya duduk selonjor dengan tangan kiri memegang rokok dan tangan kanan memegang remot.

"Eh pak tadi perasaan nggak ada di rumah," tanya Dika penasaran. "Iya tadi bapak habis ke warung beli rokok."

"Oh pantesan."

"Udah sana kamu pakai baju dulu, terus siap-siap ke masjid."

Tanpa menjawab ucapan sang bapak, Dika hanya berlalu dan menuju kamarnya. Setelah usai memilih baju dan sedang berada di depan cermin yang samping kiri atasnya agak retak, ia menoleh ke meja sebelah kanan cermin. Di sana terpampang foto dirinya saat masih SD bersama sang ibu. Foto itu adalah satu-satunya kenangan yang Dika miliki bersama ibunya, dan hal itu yang sampai saat ini membuatnya menyesal seumur hidup.

Ia mengamati lamat-lamat foto itu. Tak lama ia pun meraihnya. Wajah ibu yang cantik ia elus seraya membatin meminta maaf. Tak ada jawaban apapun atas permohonan maafnya, ya memang sampai kapan pun tidak bakal ada jawaban. Enam tahun lalu, saat dirinya masih kelas tiga SMP, ibunya sakit berat. Dokter memvonisnya liver dan komplikasi. Akibat penyakit yang diderita ibu, Dika akhirnya harus merelakan kepergian ibu untuk selamanya.

Suara azan nyaring terdengar dari toa masjid yang berjarak tujuh rumah dari tempat tinggal Dika. Ia bergegas menuju ke masjid bersama bapak. Seperti biasa, selepas magrib di keluarganya memiliki rutinitas mengaji dan makan malam bersama. Jika biasanya ibu dan kakak perempuan Dika yang menyiapkan hidangan, kali ini Dika dan bapak  sendiri yang menyiapkan. Mereka mengaji, menyiapkan makan malam, dan makan bersama.

Acara televisi kesukaan bapak menemani makan malam mereka. Hingga beberapa saat kemudian, tanpa angin tanpa hujan listrik rumah mati. Karena tak biasanya listrik mati, bapak keluar untuk memastikan bahwa bukan hanya rumahnya yang padam.

"Wah ternyata mati lampu satu desa."

Stok lilin di rumahnya kala itu habis. Mereka akhirnya memutuskan untuk melanjutkan makan di teras rumah dengan mengandalkan pantulan cahaya bulan. Angin yang cukup dingin menyapa mereka. Saat sedang melahap satu genggam nasi beserta lauknya, bapak bertanya kepada Dika.

"Gimana tadi jualannya, Nak?"

"Alhamdulillah lumayan Pak. Ciloknya sisa 10 biji, terus Dika kasih gerombolan anak anak pas tadi pulang dari nonton bola."

"Oh ya syukur deh. Kamu harus sabar ya dan yang terpenting kamu nggak usah malu."

Ini adalah hari kedua Dika berjualan. Dan ini adalah hari ketiganya di rumah. Saat liburan semester tiba, Dika selalu menyempatkan untuk pulang ke kampung halaman. Ia kuliah di Bandung, sementara rumahnya berada di Malang. Dika merupakan anak bungsu dari empat bersaudara. Ketiga kakaknya sudah berkeluarga sehingga memilih hidup bersama keluarga barunya.

Dika berasal dari keluarga yang miskin. Jika bukan karena beasiswa, ia tidak melanjutkan niatnya untuk sekolah lebih tinggi. Hanya saja, meski mendapat beasiswa, itu hanya menutupi biayanya di kampus sementara untuk kehidupan sehari-hari ia harus penuhi sendiri. Terkadang ia meminta kiriman dari orang tuanya, terkadang pula ia bisa menutupinya sendiri dengan bekerja apa saja.

Dunia seolah terbalik dan tak berpihak kepada keluarga Dika. Di saat orang-orang beranggapan bahwa memiliki banyak saudara adalah anugerah karena bisa saling bantu, tapi itu tak berlaku pada keluarganya. Garis kerut saat bapak Dika berucap "Kamu yang sabar ya" seolah menjadi bukti bahwa tersimpan penyesalan serta kutukan pada diri bapaknya.

"Pak gimana nasib keluarga kita?" Tanya Dika dengan angin yang terus menggeluti tubuh mereka berdua.

Pertanyaan Dika itu sangat menusuk bagi sang bapak. Betapa ia kemudian menunjukkan raut wajah pasrah dan murung. Tangannya meraba-raba janggut seraya mengucapkan "Yaaa" yang sangat panjang dan diikuti "Begini-begini saja".

"Bapak sangat menyesal Nak, nggak bisa ngedidik kalian dengan baik," ujar bapak lirih.

"Kamu lihat kelakuan kakak-kakakmu. Mereka nggak ada yang bisa bantu bapak. Bahkan menyisihkan sedikit saja rezekinya buat bapak nggak pernah Nak. Mereka menganggap bahwa bapak bisa menghidupi diri sendiri dari menjual cilok ini. Padahal, bapak sering sekali menahan lapar karena saking nggak adanya."

Keluarga Dika memang hancur. Kakak pertamanya sudah kehilangan arah. Meski  sudah memiliki istri dan rumah sendiri, ia gemar berjudi dan sering main wanita. Hutangnya pun menumpuk mulai dari bank sampai tetangga hingga temannya. Gaji yang dihasilkan dari bekerja, ia gunakan untuk membayar hutang dan berjudi. Begitu terus perilakunya sampai keluarga dan bapak tidak terurus.

Kakak keduanya juga demikian. Ia pengangguran, suka berjudi juga, dan hobinya memancing. Ia memiliki peluang baik saat dirinya sempat magang di Jakarta di sebuah perusahaan otomotif. Tapi ia memilih keluar padahal dunia kerja sudah menjanjikan di sana. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pun, ia mengandalkan istrinya yang bekerja. Yang paling membuat bapak malu adalah ia menumpang di rumah mertuanya.

Kakak ketiganya adalah perempuan tunggal dalam keluarga. Ia sempat akan memiliki karir mulus saat memutuskan berkuliah di kebidanan. Namun saat tinggal satu tahun lagi lulus, ia memutuskan untuk menunda kuliahnya dan memilih menikah. Pada awalnya, rencana menikah itu dipersiapkan dengan matang dan penuh harapan bisa meneruskan kuliah kembali saat sudah berkeluarga.

Tetapi rencana itu hanya menjadi angin lalu. Karena suaminya tak mampu menahan beban biaya kuliahnya kembali. Akhirnya, masa maksimal untuk melanjutkan sudah habis, dan ia keluar secara otomatis. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya pun, mereka masih mengutang ke sana kemari. Mereka tinggal di sebuah perumahan yang cukup sempit. Alasan tinggal di perumahan karena jarak menuju tempat kerja suaminya lebih dekat ketimbang harus tinggal di rumah bapak.

Peninggalan-peninggalan bapak seperti tanah, juga kalung emas ibu yang selama ini  bapak simpan, sudah dikorbankan untuk membantu ketiga kakak Dika, termasuk biaya awal Dika kuliah. Bapak menyesal karena tidak mengajari bagaimana menjadi laki-laki yang baik, bapak juga menyesal karena tidak mengajari bagaimana menjadi seorang perempuan yang baik.

"Sejak kematian ibu, semua kehidupan menjadi kacau. Bapak menyesal karena  menjadi seorang bapak yang tidak perhatian, bapak menyesal menjadi seorang bapak yang tak bertanya kabar terhadap anaknya. Bapak menyesal, Nak." Tanpa sadar air mata menetes dari pelupuk keriput bapak. Dika yang sebelumnya tak pernah melihat bapak menangis, menjadi kaget sekaligus merasa seperti ada yang teriris di uluh hatinya.

Gigi Dika beradu kencang, ia tak mampu menahan tangisnya. Makanan yang ia letakkan di meja mulai dingin. Teh hangat yang berada di tengah-tengah mereka juga ikut dingin. Keheningan malam yang banyak disumpahi banyak orang, tak lebih menyakitkan dari air mata seorang bapak dan anak malam ini.

Setelah banyak penyesalan yang bapak ceritakan. Tidak ada suara. Mereka sama sama terlarut dalam tangisnya. 10 menit berlalu, Dika sembari mengusap matanya mencoba menenangkan sang bapak.

"Sudah Pak, jangan disesali. Ini bukan salah Bapak kok, mungkin ini hanya ujian dari Allah." Ucap Dika mencoba menenangkan bapak.

"Sulit Nak untuk lari dari kesalahan. Semakin Bapak mencoba untuk sabar dan tidak mengingatnya, justru hal itu semakin menghantui pikiran Bapak. Bapak sudah membuat keluarga besar ini malu Nak, kamu pahamkan?"

Suasana kembali hening, tak ada jawaban dari Dika. Ia merasa bahwa tak pernah membayangkan akan mengobrol seperti ini bersama bapaknya. Ia pikir, dirinya bisa bercerita banyak soal kuliahnya, teman-temannya, juga perempuan yang ia sukai. Tetapi keadaan memang tak pernah berpihak kepadanya.

"Belum lagi, kakak pertamamu itu, ia sangat bengal dan keterlaluan. Ia senang  meminjam uang sembarangan dan mengatasnamakan bapak, kakak-kakakmu yang lain, juga kamu, Nak." Penyesalan bapak semakin menjadi-menjadi, meskipun bagi Dika ini bukanlah sebuah penyesalan biasa, melainkan kutukan.

Dika tak bisa membayangkan, betapa menyedihkan dan menyakitkan jika seorang anak dikutuk oleh orang tuanya sendiri. Tidak ada keberkahan, tak ada pintu kebaikan, bahkan tak ada pintu ampunan selain memohon dimaafkan. Dika tak mampu berkata lagi, ia takut perkataannya bisa menyakiti sang bapak. Ia hanya menatap bapaknya yang kali ini dengan air mata yang sudah kering.

Listrik masih padam, tetangga yang baru pulang mengerdipkan cahaya terang seperti flash ponsel di rumahnya. Suara gemuruh juga terdengar di rumah mereka. "Di mana bu lilinnya?" "Saya cari di atas lemari nggak ada." "Korek apinya mana."  Sementara itu, Dika dan bapaknya masih termenung.

Teh yang mulai dingin itu diminum oleh sang bapak, kemudian disusul juga dengan  Dika. Satu jam sudah makan malam bersama atau lebih tepatnya perbincangan mereka di teras rumah terjadi.

"Hahahaha, kita ini sedang apa sebenarnya Nak? Hidupnya kok terus-terusan mengutuk kegelapan." Celetuk bapak yang spontan mengagetkan Dika. Ucapan yang diiringi tawa besar dari bapak itu mencairkan suasana. Dika terheran, perasaan baru tadi mereka sedang sedih membicarakan keluarga, tiba-tiba kesedihan sirna oleh tawa sang bapak.

"Eeeeeeeee, gi..gimana pak?" Ucap Dika terbata-bata.

"Kau ini ngomong apa Nak. Sudahlah jangan dipikirkan. Bapak nggak mau kamu ikut terbebani karena kesalahan bapak. Mulai sekarang kamu fokus saja sama belajarmu."

"Hmmm iya Pak, mohon doanya."

"Kamu jangan jadi seperti Bapak dan Kakak-kakakmu. Kamu harus lebih dari itu semua. Bapak yakin kamu pasti, karena cuma kamu harapan Bapak."

Posting Komentar

0 Komentar