sumber gambar: pixabay |
"Ibu, sekolahku gimana?" Rengek seorang anak kecil berwajah lugu nan polos. Ia sudah bersekolah, saat ini menginjak kelas 5 SD. Satu minggu lagi, upacara kenaikan kelas akan dilaksanakan. Ia paham, setelah upacara berakhir, ia harus mengeluarkan biaya agar bisa duduk dan bertemu kembali dengan temannya di kelas.
Ibu yang sedang sibuk dengan mesin jahit kuno peninggalan kakaknya, langsung menghampiri sang anak.
"Tenang Nak. Pokoknya kamu harus menjadi anak kebanggaan ibu, bapak, dan keluarga ya," ucap ibu menenangkan.
"Tapi Bu, gimana caranya Ibu membayar itu, sementara untuk jajan keseharianku pun Ibu tak punya?"
"Tenanglah Nak. Ibu akan berusaha buat kamu dan kakakmu. Sekarang, kamu jangan khawatir dan selalu ingat, kamu nggak boleh sedih," ujar ibu lembut.
Untuk perempuan di persimpangan malam,
Seandainya hidup selalu cukup, mungkin saat ini kau tak merasa merana. Seandainya setiap jiwa mau membuka dan menyisihkan apa yang dipunya, mungkin kau tak perlu berpura-pura menjadi baja.
***
"Ibu, minggu depan aku harus membayar perpisahan di sekolahku," ucap seorang anak sesaat setelah dirinya melepas sepatu dan seragam sekolah berwarna putih biru itu.
"Iya Nak, nanti Ibu bayarkan. Kamu tenang saja," jawab ibu sembari menuangkan teh hangat ke dalam gelas.
Suasana kala itu cukup terik. Ibu dengan segelas teh panas menuju sebuah tempat di belakang rumah. Tak ada yang istimewa di belakang rumah itu. Hanya ada satu saung beserta beberapa tanaman cabai yang ibu tanam sendiri. Ibu mulai menyandarkan tubuhnya ke saung itu, segelas teh panas ia letakkan tepat di sebelah kanan tubuhnya.
Pikirannya mengudara, membawanya pada ingatan-ingatan kelam yang penuh penyelasan. Dua tahun lalu, malam hari saat dirinya baru selesai mengikuti kegiatan reuni sekolah, ia tak langsung beranjak pulang. Sebenarnya seorang teman laki-laki menawarinya untuk pulang bersama karena rumahnya hanya berbeda gang saja. Namun ia menolak dengan alasan akan dijemput suaminya.
Suaminya kala itu sedang berada di rumah dan bermain bersama dua orang anaknya. Telponnya berdering, terlihat panggilan masuk dari seseorang yang dalam ponselnya diberi nama "Mama Sayang". Sesaat setelah berbincang dalam telpon, ia izin kepada anak-anaknya untuk menjemput sang ibu.
Seorang anak yang paling kecil dengan wajah polos dan lugu berujar manja, "Ayah aku ikut dong". Mendengar keinginan anaknya, sang ayah menghampiri dan berdiri dengan lututnya sembari memegang pundak sang anak.
"Kalau kamu ikut, terus yang nemenin kakak siapa? Kasian nanti kakakmu sendirian di rumah. Terus, ini juga udah malam, anak kecil nggak baik loh angin-anginan malam hari. Kamu di rumah aja ya main sama kakak, oke?" Ucap ayah disusul dengan belaian halus di rambutnya. Sang anak tidak memberi jawaban apapun, ia tampak setuju dengan kata-kata ayahnya.
"Ayah berangkat dulu ya, dah." Ayah sedikit berteriak sembari menarik jaket yang tergantung di balik pintu.
Rembulan kala itu memancarkan sinar terang, suara-suara hewan di pematang sawah terdengar bersahutan, warung-warung kopi pinggir jalan dipenuhi orang-orang yang asik bercengkerama satu sama lain. Semua terlihat normal, sampai saat di persimpangan jalan, ia dikejutkan oleh sebuah mobil yang melaju kencang tak terkendali. Ia kaget saat pertama melihat mobil itu, ia berusaha menghindar tetapi sayang, mobil menghantam dirinya hingga membuat ia terpelanting.
Mendengar suara riuh di jalanan, beberapa orang yang sedang asik menikmati malam di warung kopi, mulai menghampiri tempat di mana suara itu berasal. Terlihat sebuah mobil dengan kaca hingga bemper depan ringsek tepat di depan pohon besar. Kemudian sebuah sepeda motor terlihat hancur tak berbentuk dan tepat di sebelahnya terdapat seorang laki-laki terkapar dengan darah yang berceceran.
Laki-laki itu tentu adalah ia. Ia yang dengan segenap cinta menjemput sang kekasih dari kesibukan kegiatan reuninya. Ia yang dengan segenap kasih, menghidupi keluarga dengan dua buah hati yang sangat dicintainya. Malam ini ia harus menerimanya, pergi dan tak pernah kembali.
Untuk perempuan di persimpangan malam,
Seandainya di dunia ini tak ada kata kehilangan, mungkin kita akan menjadi ciptaan yang paling beruntung. Seandainya di dunia ini tak ada penyesalan, mungkin kita tak pernah menjadi seseorang yang menangis disaat menjelang tidur. Seandainya di dunia ini tak ada perpisahan, mungkin kita akan tetap menjadi manusia yang angkuh.
***
"Ibu, kenapa melamun?" Tanya seorang anak ketika melihat sang ibu terlihat menatap dengan tatapan kosong.
"Tidak kenapa-kenapa Nak, Ibu cuma lagi cari angin aja," ujar ibu sembari melempar senyum paksa kepada anaknya. Ia tahu dirinya sedang tidak baik-baik saja, tapi di hadapan anaknya ia berusaha untuk memberi ketenangan.
Pada mulanya, keluarga ini hidup dengan ketercukupan. Namun setelah suaminya meninggal gara-gara kecelakaan malam itu, kehidupan berubah menjadi menjemukan. Tak ada peninggalan yang diterima keluarga selain rumah. Semua telah habis dikeruk oleh rekan kerja suaminya itu. Sang ibu menganggap mereka adalah rekan kerja yang baik, tetapi salah, justru mereka adalah orang-orang biadab yang hidup bahagia di atas penderitaan orang lain.
Hidupnya semakin berat lantaran harus menghidupi dua orang anak, juga dirinya. Beban biaya sekolah kedua anaknya menjadi prioritas bahkan menjadi beban paling besar. Hanya bekerja sebagai penjahit tak menjamin kebutuhannya tercukupi. Dalam kesehariannya, ia selalu berharap ada resleting seseorang yang terjepit dan rusak.
Sang ibu tak tega, jika membiarkan anaknya tak lulus sekolah. Untuk menutupi kebutuhan sekolah dalam 2 tahun ini, sang ibu bekerja keras menjahit juga mengerjakan apa saja yang bisa menghasilkan uang. Namun, usahanya tidak selalu baik, uang yang dikumpulkan kurang dan terpaksa harus meminjam ke sana kemari.
Batinnya bergejolak, hatinya berontak. Ia tersadar bahwa hutangnya sudah menumpuk. Perhiasan serta barang-barang rumah tangga pun banyak yang dijual. Ia tak mungkin mengutang lagi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Ia memiliki seorang paman yang tak jauh dari rumahnya. Ia sering mengunjunginya dengan membawa segala peluh yang ada. Tapi pamannya tak memiliki jawaban, karena untuk menghidupi keluarganya sendiri pun ia juga kesusahan.
Suatu malam, saat dua anaknya terlelap, ibu mengemas barang-barangnya dan pergi ke rumah paman. Di sana, ia tidak mengetuk pintu atau memanggil siapapun. Ia hanya meninggalkan sepucuk surat yang ia selipkan lewat celah pintu di rumah itu. Ia pergi dan entah kapan akan kembali.
Untuk perempuan di persimpangan malam,
Seandainya kau punya pilihan, mungkin kau akan memilih yang terbaik. Seandainya kau tak punya pilihan, mungkin kau akan kembali. Seandainya kau tahu, bahwa purnama malam itu tak pernah meninggalkanmu. Seandainya kau tahu bahwa nikmat Tuhan tak pernah luput dari apapun, mungkin kau akan mengejarnya.
***
Hidup dua orang anak itu menjadi berbeda setelah kepergian ibunya. Mereka menangis setiap saat dan mengurung diri di kamar. Tak ada lagi ibu di dapur, meja makan, ruang tamu, dan di atas kursi mesin jahit. Hanya ada seorang laki-laki yang terakhir rumahnya diselipkan sebuah surat oleh perempuan itu.
Dua bulan berlalu, masih tanpa ibu. Dua anak itu tinggal bersama paman dan mulai terbiasa dengannya juga terbiasa tanpa ibu. Kehidupan mulai tercukupi, makan, jajan, serta biaya sekolah mereka selalu ada. Laki-laki itulah yang mengurusnya.
Untuk perempuan di persimpangan malam,
Kukisahkan kau dalam bait sendu
Kata yang mungkin berkata
Pahit memang saat semua orang mengira kau adalah kegelapan
Tapi kau selalu yakin, bahwa kau bukanlah kegelapan bagi titisanmu
Kau perempuan pasrah, entah mungkin karena tak kau temukan tempat berkeluh kesah
Setiap malam, kau hinakan diri di mata durjana
Meski setiap malam, kau juga hidupkan dirimu di mata purnama
Cahayamu telah pergi, bersama emosi yang tak kunjung teratasi
Kau perempuan, menopangnya
Meski dengan atap berlapis timah, serta baju berkawat duri
Kau perempuan, menopangnya
Kini titisanmu telah berhasil, dan menjadi seseorang yang siap menaklukkan dunia
Kau perempuan, telah berhasil menghidupi mereka dari kegelapan
Perjuanganmu pahit, pengorbananmu perih, pilihanmu sempit, tapi itulah kau
Kaulah perempuan di persimpangan malam
0 Komentar