
Pada bagian 1 dalam project awal mula series ini, saya sudah bercerita tentang bagaimana perkenalan dengan dunia menulis. Pada bagian 2, saya ingin bercerita tentang bagaimana dunia menulis memperkenalkan saya dengan dunia baru yakni jurnalis. Dunia yang semakin seru, penuh tantangan, dan tentunya super melelahkan.
Setelah menjadi anggota resmi LPM MISSI, saya bukan hanya diperkenalkan dengan menulis artikel atau puisi. Saya juga diperkenalkan dengan dunia yang setiap hari sibuk mengumpulkan fakta/isu, menyusun draft pertanyaan, mewawancarai narasumber, menulis informasi menjadi berita, dan menyebarkannya ke public space.
Setiap hari, saya dijejali doktrin harus selalu skeptis terhadap sesuatu. Katanya, itu adalah modal pertama untuk menjadi seorang jurnalis handal. Tapi menjadi skeptis seperti hal yang jauh dari saya kala itu. Sejak kecil, saya selalu diajarkan berprasangka baik terhadap sesuatu. Dan percaya jika kebaikan membuat hati tenang daripada sibuk mencari-cari keburukan.
Meski terasa bertolak belakang, saya tetap berusaha mengikuti apa titah senior. “Oke mari lakukan saja,” batin saya saat itu.
Pelan-pelan, saya mulai menyadari jika skeptis itu bukan terhadap manusia, tapi terhadap informasi.
“Skeptis bukan upaya mencari-cari kesalahan atau keburukan, melainkan cara untuk berpikir tajam dan kritis. Tidak langsung percaya terhadap data-data, laporan, dan pernyataan para pejabat. Semua hal harus dicek ulang kebenarannya.” Demikian yang saya pahami.
Begitulah akhirnya MISSI mengenalkan saya kepada cara pandang terhadap dunia jurnalis. Ternyata jurnalis bukan sekadar doorstop, berbicara depan kamera, atau potret sana sini. Tapi jurnalis adalah seorang yang berproses keras dalam membaca keadaan, mengumpulkan informasi, dan menentukan angle berita apa yang hendak ditulis.
Saya ingat betul, tulisan pertama yang dimuat dalam portal lpmmissi.com adalah liputan tentang konser UKM Musik. Lebih tepatnya tertera pada link ini https://lpmmissi.com/konser-sinfonia-ke-xiii-ukm-musik-perkuat-pengkaderan/. Sebuah liputan yang terlihat biasa, tapi berkesan. Ini seperti pintu gerbang untuk menuju rasa Lelah berikutnya hehe.
Liputan perdana itu tampaknya belum cukup membuat senior puas. Dia terlihat ingin saya melakukan lebih. Dia selalu memantik untuk memulai liputan tajam dan kritis. Hasilnya? Tentu di luar ekspektasi. Saya berhasil meliput tentang polemik Pemilwa, permasalahan TOEFL IMKA, kerusakan fasilitas, demo, bahkan bisa bertemu rektor di ruangannya dengan situasi yang begitu intimidatif.
Bertemu dengan pejabat kampus apalagi rektor, bukanlah hal yang bisa dilakukan sembarang mahasiswa. Saya merasa seperti memiliki privilege meskipun pertemuan itu bisa saja mengancam perkuliahan saya. Namun saya tidak peduli. Selagi apa yang dilakukan benar, maka tidak boleh ada yang menghalangi. Karena saya juga yakin, jika terjadi sesuatu, senior saya pasti siap berdiri paling depan hehe.
Merasa sudah tercebur di dunia ini, saat konsentrasi jurusan pun saya memilih penerbitan dari dua pilihan lain yakni televisi dan radio. Dari konsentrasi inilah, membawa saya magang di media Suara Merdeka. Sebuah media besar dan terkemuka yang berbasis di Semarang. Tugasnya? Sama seperti di MISSI, hanya saja lebih luas. Meliput apa yang terjadi di Kota Semarang.
Setiap hari saya dan kawan-kawan berkumpul di kantor. Berdiskusi terkait materi liputan. Para mahasiswa magang dibagi per kelompok dan akan ditugaskan liputan bareng jurnalis yang sudah bekerja disana. Saya pikir, jurnalis itu hanya capek ketika harus mikir materi liputan. Tapi ternyata tambah capek lagi karena harus menempuh jarak liputan yang jauh.
“Ternyata jadi jurnalis itu melelahkan ya. Tapi anehnya orang-orang ini kok bisa bertahan ya?” Ucap kawan saya.
“Iya mungkin karena itu hobi. Atau karena himpitan ekonomi saja,” celetuk saya.
“Tapi katanya gaji jurnalis ini nggak besar loh, bahkan kadang ada yang di bawah UMR. Tapi beban kerjanya banyak banget.”
“Halah yaudah lah yuk beli es teh aja,” timpal saya karena sudah capek liputan seharian.
Babak Baru
Hidup menjadi jurnalis bukan sesuatu yang pernah saya bayangkan. Tapi dunia seolah membawa saya ke sana. Pada 2021, karier profesional jurnalis saya dimulai. Saya bergabung sebagai jurnalis di media Koran Lingkar Jateng yang berbasis di Pati, Jawa Tengah. Saat itu saya ditugaskan di wilayah Kabupaten Demak.
Penugasan ini cukup membuat kaget. Karena mulanya saya ingin ditugaskan di Semarang. Namun takdir berkata lain, yasudah. Demak adalah wilayah yang sama sekali tidak saya ketahui seluk beluknya. Bahkan sekadar kantor bupatinya saja saya tidak tahu. Yang saya tahu dari Demak adalah banjir rob dan pantura yang selalu ngajak berzikir.
Namun disinilah letak keseruannya. Lingkar Jateng ternyata dari dulu belum pernah menugaskan jurnalis di daerah Demak. Saya menjadi yang pertama. Kalau boleh kepedean, tidak mungkin saya ditugaskan di tempat baru tanpa alasan. Saya yakin mereka melihat sesuatu dalam diri saya. Dan itulah yang setiap hari menjadi kekuatan dalam penugasan ini. Saya mungkin istimewa hehe.
Seperti anak burung yang sudah bisa terbang dan keluar dari sangkar, saya mulai mencari-cari ide untuk peliputan pertama. Dan saya ingat betul, hari pertama kerja saya membuat dua berita. Pertama tentang keluhan pedagang pasar terkait program jateng di rumah saja dan tentang banjir yang tidak surut selama dua bulan.
Barangkali teman-teman ingin melihat, bisa akses di link berikut https://lingkar.co/kurang-setuju-pedagang-pasar-bintoro-demak-gerakan-jateng-di-rumah-saja-bisa-buat-omset-turun/. Untuk liputan banjir, sayangnya tidak ditayangkan karena pada saat itu saya kekurangan narasumber.
Bekerja sebagai jurnalis tidak sama seperti para pekerja kantoran. Jika mereka mengenal istilah office hour yang umumnya dari jam 08.00 – 16.00, jurnalis tidak. Para jurnalis bekerja tidak ditentukan waktu. Setiap hari mereka memutar otak mencari berita dan jika sewaktu-waktu, entah malam hari atau weekend dibutuhkan, maka harus siap siaga turun ke lapangan.
Namun ada kepuasan tersendiri ketika tulisan kita bukan sekadar dibaca, tapi berdampak. Seperti yang pernah saya alami. Saat itu banjir menghantam salah satu wilayah di Demak hingga mereka menderita kutu air. Karena keterbatasan informasi, bantuan belum datang. Masyarakat akhirnya mengobati kutu air dengan solar. Tentu ini bukan berita baik karena solar bukan obat yang tepat.
Ketika saya tulis, berita ini naik dan viral. Akhirnya sampai kepada pemerintah hingga bantuan datang untuk para korban banjir. Bagi saya ini bukan perkara sederhana. Menjadi jurnalis bukan sekadar pekerjaan, tetapi sebuah tanggung jawab sosial yang harus bisa menjadi jembatan antara yang tersembunyi dan tampak. Meski tidak sempurna, itulah yang saya berusaha lakukan.
Meski pernah merasa Lelah, tapi saya selalu ingat jika apa yang dijalani ini adalah sesuatu yang bermakna. Itulah alasan saya bertahan hingga saya bisa dan pernah duduk sebagai Redaktur di Koran Lingkar Jateng. Karena jurnalis bukan sekadar profesi, dia telah menyadarkan saya untuk melihat dunia dengan mata yang lebih peka dan hati yang lebih terbuka.
Mengutip tulisan Adib Abadi, jurnalis itu seperti petani. Dia bekerja dalam sunyi, tapi hasilnya bisa dinikmati semua. Mereka bukan selebriti, tapi tanpa mereka, berita hanya akan jadi kumpulan rumor belaka. Jika mereka tidak ada, sejarah tidak akan tercatat, dan kebohongan bisa menyamar menjadi kebenaran.
Leave a Reply