
Mungkin banyak di antara orang-orang yang sudah berkenalan dengan dunia kepenulisan sejak SMA, SMP bahkan mungkin SD. Mulai dari menulis puisi, cerpen, hingga tulisan artikel ringan bertema tertentu. Bagi saya mereka adalah orang beruntung. Beruntung karena diperkenalkan lebih dulu dengan dunia yang bisa menjangkau apa yang orang lain tidak bisa. Dunia yang mampu mengenalkan kita pada diri sendiri. Pada ketiadaan.
Saya bisa jadi tidak seberuntung mereka, yang sejak kecil sudah dikelilingi oleh buku-buku, didoktrin untuk rajin membaca dan paham, bukan hanya menghafal. Atau mungkin memang saya-nya saja yang bodoh. Karena tidak belajar untuk mencintai membaca dan menulis sejak kecil. Tidak berani melakukan hal baru dan lebih memilih bermain, bermain, dan dimarahin hehe.
Sewaktu MAN dulu, kata menulis itu masih terdengar asing di telinga. Bahkan saya tidak terpikir sama sekali kalau menulis itu bisa menjadi sebuah profesi. Karena yang saya tahu, tulisan itu apa yang ada di buku pelajaran. Tentang biologi, kimia, fisika, matematika, di luar itu secara harfiah saya menganggapnya enggak ada. Sesekali ke perpustakaan pun ya mencari buku pelajaran bukan buku-buku macam Sang Alkemis karangan Paulo Coelho.
Aktivitas menulis saat MAN dulu, paling-paling meresume buku pelajaran atau menulis ulang persis apa yang sudah ada di buku pelajaran dalam kertas folio. Bagi saya, itu hanya rutinitas akademik saja. Itu hanya tugas-tugas yang diselesaikan seadanya. Belum menyentuh kepada perkara rasa juga makna. Tapi itu memberi pelajaran kepada saya bahwa menulis memang pekerjaan yang melelahkan wkwk.
Semua berubah ketika saya masuk dunia perkuliahan. Sepertinya sudah menjadi adat bagi mahasiswa baru, jika di awal-awal perkuliahan banyak sekali tawaran untuk gabung organisasi a, b, c, sampai z. Pada momen ini saya merasa seperti artis yang diperebutkan para fans. Saya ambil setiap brosur yang disodorkan. Bahkan uniknya, saya pernah dirangkul paksa untuk duduk bersama senior-senior di rerumputan pinggir jalan beralaskan spanduk kegiatan.
Saya tidak tahu harus berbuat apa, tapi mereka terlihat sangat akrab sekali. Mereka bertanya asal tempat tinggal, kos dimana, bahkan mereka menawarkan jasa antar pulang gratis sampai kosan. Dalam hati saya, luar biasa. Bagi saya yang merindukan kasih sayang ini, perhatian itu sungguh bikin meleleh. Saya pikir, wah ini adalah organisasi yang harus saya ikuti.
Tapi keesokan harinya, saya diajak teman untuk mengunjungi salah satu stand organisasi. Di sini, senior tersebut terlihat begitu pintar. Bicaranya ngalor ngidul tentang pergerakan mahasiswa, kondisi negeri ini, dengan sumber-sumber buku yang dia sebutkan. Lebih seru lagi, dia berkata modus-modus organisasi di kampus dalam menarik mahasiswa baru.
Saya merasa terkait karena kemarin sempat diperlakukan bak raja. Omongan senior satu ini membuat saya berpikir. Ada benarnya juga apa yang dia omongin. Bahkan hati saya berkata, pintar juga ini orang. Mulai hari itu, saya memutuskan mengambil formulir organisasi itu dan mulai mendaftarkan diri. Organisasi itu bernama Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) MISSI.
Babak Baru
Disinilah kawah candradimuka itu bermula. Walaupun sebenarnya saya bergerak dengan penuh kebingungan dan rasa takut, tapi ada sisi lain yang menguatkan yakni rasa penasaran. Apa yang akan saya pelajari di organisasi ini? Bagaimana saya akan bisa menjadi seseorang yang pintar berbicara dan menyebutkan buku-buku dalam setiap dialog?
Hari berikutnya saya mengunjungi stand LPM MISSI, saya diperkenalkan dengan menulis. Saya ingat sekali, tulisan pertama yang berhasil saya buat adalah puisi akrosindo dari nama “aditia ardian”. Tulisan itu hingga kini masih tersimpan rapi dalam arsip. Tulisan itu bukan tugas untuk masuk dalam organisasi, tapi hanya challenge dari senior, mungkin untuk sekadar hiburan atau menciptakan bonding sejak awal.
Hari pengumuman tiba. Dengan mengejutkan saya dimasukkan dalam grup WA berisi kumpulan orang-orang yang diterima ke tahap selanjutnya di MISSI. Bahkan pengumuman itu dicetak dan ditempel dalam papan mading fakultas yang hampir semua mahasiswa membaca atau sekadar melihat. Meski hanya diterima dalam organisasi, tapi rasanya seperti mahasiswa berprestasi yang namanya terpampang dalam koran.
Perkenalan saya dengan menulis berlanjut. Saya diwajibkan membuat artikel dengan tema “pentingnya menulis”. Tentu saya gugup bukan main. Karena selama ini, saya tidak pernah sekalipun menulis artikel. Dunia terasa sibuk, saya mulai baca-baca artikel di internet, mencoba memahami struktur tulisan dan mencari ide yang bisa diangkat. Hasilnya? Tentu saja berantakan, tapi saya puas wkwk. Kalau ada yang penasaran seperti apa hasilnya, bisa kunjungi web ini ya https://myarise.blogspot.com/.
Lambat laun, MISSI menjelma jadi rumah kedua buat saya. Tempat saya belajar banyak hal tentang kepenulisan, seperti reportase, features, artikel, sampai teknik wawancara dan riset. Perlahan-lahan, tulisan yang dulu amburadul, mulai berbentuk. Di sini saya mulai menyadari kalau menulis bukan hanya sekadar menyusun huruf menjadi kata, kata menjadi kalimat, kalimat menjadi paragraf, tapi lebih jauh menulis adalah proses memahami diri.
Banyak hal yang tidak bisa saya ucapkan, ternyata justru bisa saya tuliskan. Banyak hal yang terasa ruwet dalam pikiran, ternyata menjadi jelas ketika dituliskan. Saya menyadari jika menulis membuat saya semakian belajar untuk mendengar lebih banyak, pada diri sendiri, orang lain, dan dunia. Dan lalu, memberikan lebih banyak pula dalam bentuk kata dan paragraf.
Begitulah saya berkenalan dengan menulis. Bisa dibilang, dunia kepenulisan ini bukanlah sesuatu yang saya rencanakan. Dia datang tiba-tiba dan memberi tempat. Dia hadir sampai detik ini menjadi teman perjalanan. Teman yang selalu mengingatkan saya untuk berhenti sejenak, melihat ke dalam, lalu kembali ambil langkah dengan penuh kesadaran.
Leave a Reply